ASWAJA

2. ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR

Ma Huwal Islam?
Pertanyaan itulah yang awal muncul ketika kita membahas tentang Ke-Islam-an. Apa itu islam? Banyak para pakar menerjemahkan arti dari slam. Secara harfiah Islam berasal dari kata Aslama-Yaslamu-Islaman yang artinya selamat, damai, aman dll. Secara istilahaiyah Islam banyak arti, ada yang mengatakan bahwa islam adalah agama yang benar yang di ridloi oleh Allah SWT, ini merujuk pada sebuah ayat Alqur’an yang berbunyi:
Artinya:
Sesungguhnya agama disisi Allah (yang diridloi Allah) adalah agama Islam.
Iman Fadlilah[1] mengatakan bahwa kita kadang-kadang kita pilih kasih dalam penerjemahan, arti “al islam”. pada kata terakhir ayat diatas menurutnya artinya bukan agama islam akan tetapi mempunyai arti “selamat”. Jadi arti sesungguhnya adalah agama disisi Allah (di ridloi Allah) adalah “selamat”.
Pemaknaan selamat inilah yang akhirnya memunculkan pertanyaan yang tak kunjung usai terjawab oleh para pemikir islam adalah apakah manusia yang ketika dilahirkan suci dan dalam ketidaktahuannya lingkungan menjadikan si manusia tersebut berbeda-beda (ada yang islam, kristen, yahudi, hindu, budha dll) menjadi berbeda pula nasibnya di akhirat kelak. Pemaknaan selamat inilah yang akhirnya para pemikir islam memberanikan jawaban bahwa manusia didunia sama derajatnya. Agama apapun yang di anut ketika dalam kesehariannya membawa nilai-nilai keselamatan seperti kedamaian, persamaan derajat, keadilan dll (Nilai Universalisme Islam) maka akan selamat pula di akhirat. Pendapat inilah yang penulis fikir sangat berani. Akan tetapi kita sebagai umat yang diberi akal sebagai penyeimbang wahyu Tuhan tentunya berapresiatif dengan segala pemikiran islam yang muncul seperti ini.
Islam juga diartikan sebagai agama yang dibangun dengan lima (5) pilar “Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, Haji”. Penerjemahan tersebut didasarkan atas anggapan rukun islam ada lima (5). Sehingga bagi siapa saja yang belum menunaikan ritual-ritual tersebut disebut orang islam yang belum sempurna.
Ada juga yang lebih luas dan humanis dalam mengartikan apa itu islam yaitu agama yang ditujukan untuk rahmat bagi sekalian alam (Rahmatallil ‘alamin). Pandangan ini menerjemahkan islam adalah agama yang membawa kenyamanan, keadilan, persamaan derajat dan nilai-nilai universal lain bagi manusia di dunia.
Islam sebagai Ritual dan Islam sebagai Nilai
Berbagai definisi islam yang dilontarkan para pakar islam kita dapat menarik benang merah dan mempersempit pemaknaan islam menjadi dua (2) definisi yaitu islam sebagai ritual dan islam sebagai nilai.
Islam sebagai Ritual dapat diartikan bahwa islam adalah agama yang mengajarkan berbagai ajaran (Syariah) seperti Sholat, Zakat, Puasa, Haji, dll.
Islam sebagai Nilai dapat diartikan bahwa islam adalah agama yang diturunkan dengan membawa pesan keadilan, kedamaian, persamaan hak, kemerdekaan dan nilai-nilai universal umat manusia lainnya.
Islam yang Benar (Islam Kaffah)?
Sebagai orang yang kebetulan beragama islam, maka pertanyaan selanjutnya yang muncul ketika kita mengetahui pemaknaan islam adalah bagaimana berislam yang benar? Atau seperti apa islam yang benar?
Fakta sejarah memperlihatkan pasca wafatnya Rasulullah SAW, umat islam terpecah-pecah menjadi bermacam-macam golongan, ada Syiah, Khowarij, Wahabiyah, Qodariyah, Jabariyah dan lain-lain. Di saat banyak munculnya aliran pemahaman islam tiba-tiba muncul hadist yang dianggap shohih[2], yang mengatakan bahwa Islam secara kelembagaan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW akan terbagi menjadi 73 golongan. dan yang selamat dikatakan hadits itu hanya satu (1) golongan yaitu yang mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW. Haditsnya berbunyi:
Artinya:
Nabi SAW Memberitahu: Bahwa umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, yang selamat hanya satu, lainnya binasa. Beliau ditanya: Siapa yang selamat? Beliau menjawab: Ahlussunnah Waljamaah. Ditanya lagi: Siapa itu ahlussunnah waljamaah? Beliau menjawab: Yang mengikuti apa yang saya lakukan beserta para sahabatku”.
Dengan adanya hadits tersebut seluruh aliran-aliran Islam berduyun-duyun untuk menyatakan dirinya sebagai bagian yang selamat yaitu yang mengikuti sunnah rasul dan mengikuti sahabatnya.
Ada hal menarik yang dapat diambil pelajaran adalah kelompok umat islam yang mengklaim paling benar dan akan selamat di dunia akhirat adalah kelompok aliran yang menamakan dirinya ahlussunnah waljamaah. Ahlussunnah waljamaah disini dimaknai sebagai madzhab yaitu suatu aliran yang dalam tauhidnya mengikuti imam abu hasan al-asyari dan abu mansyur al-maturidi, dalam fikihnya mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) sedangkan dalam kajian tasawufnya mengikuti imam Junaidi dan Imam Ghozali.
Menelaah keberadaan hadits tersebut serta banyaknya aliran islam yang mengklaim adalah golongan yang selamat, maka sebenarnya siapa yang akan selamat? Yang akan selamat tentunya adalah islam yang benar. Mengenai islam yang benar itu bagaimana? Salah satu alternatif jawaban yang secara dalil naqli maupun di nalar secara logika kritis maka dapat dijawab bahwa salah satu[3] islam yang benar adalah agama islam yang mengajarkan adanya transformasi dari islam sebagai ritual (lembaga) maupun islam sebagai nilai-nilai universal (Universalisme islam).
Aswaja Sebagai Metode Berfikir (Manhajul Fikr) Menuju Transformasi Islam
Untuk dapat mentransformasikan islam sebagai addin maupun islam sebagai nilai (ruh yang luhur) digunakan 4 (empat) cara pendekatan yang disebut sebagai prinsip-prinsip ahlussunnah waljama’ah (Aswaja)[4], yaitu:
1. Tawasuth
Tawasuth berasal dari kata “wasatho” artinya “tengah-tengah”. Hal ini berarti dalam memahami segala bentuk ajaran islam senantiasa berpedoman dengan nilai-nilai kemoderatan. Nilai kemoderatan inilah nantinya yang akan membawa pemahaman menuju islam yang benar.
2. Tawazun
Tawazun mempunyai makna “seimbang”. Hal ini berarti dalam setiap langkah dalam sendi kehidupan beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan dalam pemecahan setiap permasalahan yang muncul. Seimbang dalam menjalin hubungan dengan Allah, Seimbang dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, dan seimbang dalam menjalin hubungannya dengan alam semesta. Dengan sikap seimbang inilah kita nantinya akan menemukan islam yang benar.
3. Tasamuh
Tasamuh mempunyai makna “toleransi” artinya Allah menciptakan manusia bermacam-macam suku, agama, dan ras. Sehingga dalam menyikapi suatu masalah kita senantiasa menggunakan prinsip toleransi. Dengan menggunakan prinsip ini kita akan lebih memahami perbedaan sebagai sunnatullah dan tidak terpecah belah dalam perbedaan. Yakinlah bahwa menghormati terhadap sesama manusia walaupun berbeda agama tidak akan berdosa dan yakinlah bahwa mengejek, menghina, dan mengucilkan manusia walaupun itu non islam tetap berdosa. Ingat filosofis Dosanya Ismail Fachri[5] “Dosa adalah segala sesuatu yang menimbulkan efek negatif bagi diri sendiri, sesama manusia maupun sesama makhluq lain”.
4. Ta’adul
Ta’adul berasal dari kata “adala” artinya adil. Dalam kehidupan sehari-hari pastilah banyak permasalahan sehingga agar islam kita benar maka sentiasa kita menggunakan prinsip Ta’adul sebagai landasan berfikir mencari penyelesaian masalah.
Empat (4) komponen inilah yang digunakan menjadi manhajul fikr guna mencari islam yang benar yang betul-betul di ridloi oleh Allah SWT.
Akhir dari makalah ini akan saya katakan nahwa “Islam dipandang sebagai Addin (Ritual Formalitas) belaka tanpa mengindahkan ruh (nilai universalisme islam) seperti tubuh manusia yang tak bernyawa sehingga tiada gunanya, sedangkan Islam dipandang hanya sebagai ruh (nilai universalisme islam) saja tanpa memandang formalits ritualnya bagaikan nyawa tanpa raga. Sehingga marilah kita sempurnakan islam kita dengan menggabungkan keduanya untuk menunjukkan bahwa islam adalah rahmatallil’alamin (rahmat bagi sekalian alam).

2.Faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Di antara enam agama besar di dunia, Islam tergolong agama dakwah. Agama dakwah yang dimaksud adalah agama yang di dalamnya usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang- orang yang belum mempercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau oleh para penggantinya. Semangat memperjuangkan kebenaran itulah yang tak kunjung padam dari jiwa para penganutnya sehingga kebenaran itu terwujud dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Semangat memperjuangkan kebenaran inilah yang mendorong umat Islam untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk di tiap negeri yang mereka datangi, dan ini merupakan kewajiban agama bagi mereka yang disebut da’i atau muballigh.
Dengan semangat dakwah seperti itulah, pada abad ke-9 Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orangorang Arab yang berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan bermadzhab Syafi’i ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042 berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai dan pada tahun 1025 berdiri Kerajaan Islam Aceh. Al-Malikus Shaleh merupakan kerajaan yang menganut faham Aswaja dan menganut madzhab Syafi’i. Bahkan menurut catatan sejarah, pada tahun 840 telah berdiri
kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Kerajaan Perlak. Dapat dipastikan bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena ketika kerajaan itu berdiri sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk agama Islam. Sementara Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Pada saat itu, dengan dukungan Walisongo, Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak. Berkat dakwah yang dilakukan Walisongo, Islam berkembang pesat sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Menyusul kemudian berdiri beberapa kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pada abad ke-16, Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Perkembangan Islam yang berhaluan Aswaja bertambah pesat ketika generasi penerus Walisongo dan Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara Iebih terarah. Dari pesantren inilah lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman agama yang relatif utuh dan lurus.
Seiring dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, terjadi kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dan dunia Islam Iainnya, termasuk negaranegara Arab. Tidak saja melalui jamaah haji, tetapi juga melalui sejumlah pelajar Indonesia di negara-negara Arab, sehingga perkembangan agama dan ilmu pengetahuan Islam makin pesat.Seiring dengan perkembangan pengetahuan Islam melalui kontak langsung tersebut, telah masuk faham-faham Islam Iainnya yang bertentangan dengan faham Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.
Oleh karena itu, untuk membendung arus faham-faham lain tersebut dan untuk membentengi mayoritas umat Islam Indonesia, para ulama Aswaja wajib bangkit secara proaktif mendirikan jam’iyyah (organisasi) yang di kemudian hari dikenal dengan Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Nama yang dipilih adalah kebangkitan, bukan sekadar perkumpulan atau perhimpunan. Yang bangkit adalah para ulama yang menjadi panutan umat. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1334 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.
Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah diniyyah Islamiyyah berdasarkan faham Aswaja dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Nahdlatul Ulama bertujuan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Islam Aswaja dan menganut salah satu madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Setiap warga negara Indonesia yang menganut faham ini hendaknya memahami dan mendalami faham ini. Untuk itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyusun buku yang terdiri dari muqaddimah, empat bab isi, dan khatimah.
Bab I berisi pengertian dan sejarah lahir Aswaja. Melalui bab ini pembaca dapat memahami definisi atau apa yang dimaksud dengan Aswaja, baik yang bersifat ishtilahi maupun yang bersifat substantif. Juga memahami dalil-dalil yang dipergunakan Aswaja sebagai faham yang menyelamatkan umat Islam dari neraka. Di samping itu, pembaca dapat mengetahui ruang Iingkup Aswaja yang secara garis besar meliputi aspek akidah, fiqih dan akhlak. Selain itu juga latar belakang lahirnya Aswaja yang secara terminologis lahir seiring dengan munculnya madzhab kalam Al-Asy’ari dan Al- Maturidi, yang tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dan periode Ali ibn Abi Thalib. Akhirnya melalui bab ini pembaca dapat memahami pola (manhaj) berpikir Aswaja.
Bab II mengenal faham Aswaja yang meliputi akidah, syari’ah, tashawuf dan akhlak. Melalui bab ini pembaca dapat memahami faham Aswaja mencakup pengertian iman, rukun iman, ciri khas akidah Aswaja dan khalifah sesudah Rasulullah SAW menurut Aswaja. Demikian pula pembaca dapat mengetahui sumber-sumber hukum Islam menurut Aswaja, disertai alasan-alasan dan dalil-dalilnya. Di samping itu, pembaca dapat mengetahui faham Aswaja tentang sumber-sumber keteladanan bagi umat Islam dalam melaksanakan berbagi kehidupan, termasuk tashawuf dan akhlak.
Bab III mengenal NU dan Aswaja. Melalui bab ini pembaca dapat mengetahui penyebaran Islam di Indonesia, yang diperkirakan pada abad ke-7 dan diikuti berdirinya pusat-pusat kekuasaan dalam bentuk kerajaan Islam di berbagai wilayah Indonesia, sehingga agama Islam dianut mayoritas penduduk Indonesia. Umat Islam di Indonesia pada umumnya menganut madzhab Aswaja. Akhirnya para ulama bangkit mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama untuk membentengi warga Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari arus faham lain yang bententangan dengan Aswaja. Kemudian pembaca juga dapat memahami Aswaja yang dianut oleh jam’iyyah NU.
Bab IV mengenal aktualisasi Aswaja yang meliputi aktualisasi wawasan Aswaja, aktualisasi materi Aswaja, perspektif sosial politik, perspektif hak asasi manusia, perspektif ekonomi, perspektif budaya, perspektif pertahanan dan keamanan, perspektif pendidikan, perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, perspektif sumber daya manusia, dan perspektif lingkungan hidup.
Melalui bab ini pembaca dapat mengkaji bentuk-bentuk pemerintahan yang sesuai dengan Aswaja. Tentu saja tipologi masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin merupakan acuan utama dalam bentuk politik dan bernegara. Yang direalisasikan dalam suatu negara adalah prinsip-prinsip al-‘adalah (keadilan), al-hurriyah (kebebasan), al-musawah (persamaan), dan asy-syura (musyawarah). Mengenai hak asasi manusia, pembaca bisa mengkaji ushulul khamsah (lima prinsip pokok) tentang jaminan agama, jiwa, akal, harta, kehormatan dan keturunan. Di samping itu, pembaca dapat mengkaji prinsip perekonomian Aswaja, religiusitas seni budaya, seni sebagai sarana pendidikan dan dakwah, pandangan ulama terhadap seni budaya dan seni sebagai sarana perjuangan.