TOKOH

Kiai Bisri Mustofa
07 mei 2011 19:48:37 | 
K.H. Bisri Mustofa adalah seorang kiai kharismatik pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin Rembang JawaTengah. Ia dilahirkan di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915. Sewaktu kecil ia diberi nama Mashadi oleh kedua orang tuanya, Yaitu H. Zainal Mustofa dan Chodijah. Selanjutnya setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 ia menganti nama dengan Bisri.
Pada masa kecil KH. Bisri Mustofa merupakan sosok anak yang malas belajar dan mengaji di pondok pesantren. Bahkan ia lebih menyukai bekerja untuk mencari uang daripada mengaji. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, sampai pada akhirnya ia bersedia untuk mengaji di pesantren dan menekuni ilmu-ilmu agama. KH. Bisri Mustofa belajar dan menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren kasingan Rembang yang diasuh oleh Kiai Cholil. Di pesantren inilah ia kemudian menekuni ilmu-ilmu agama selanjutnya menjadi bekal yang paling berharga di dalam kehidupannya.

Selain di pesantren Kasingan Rembang ia juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan puasa) di pesatren Tebuireng Jombang asuhan KH Hasyim Asy’ari. Selain itu KH. Bisri Mustofa juga pernah mengaji untuk memperdalam ilmunya di kota suci Makkah pada tahun 1936 kepada Kiai Bakir, Syaikh Umar Khamdan Al-Magrib. Syaik Maliki, Syyid Amir, Syaikh Hasan Masysyath, dan kiai Abdul Muhaimin.

Selain sebagai guru, Kiai Cholil adalah mertua KH Bisri Mustofa karena ia dinikahkan dengan putrinya yang bernama Marufah. Pernikahannya dengan Ma’rufah ini, KH. Bisri Mustofa dikaruniai delapan orang anak, yaitu : Cholil, Mustofa, Adieb, Faridah, Najichah, labib, Nihayah dan Atikah. Kehidupan KH Mustofa Bisri mengalami berbagai dinamika seiring dengan berjalannya waktu dengan kondisi zaman waktu itu. Ia mengalami pahitnya hidup pada zaman penjajahan jepang, masa awal kemerdekaan sampai pemberontakan G 30 S. PKI.

Setelah wafatnya Kiai Cholil, KH Bisri Mustofa ikut aktif dalam mengajar santri-santri di pondok pesantren kasingan Rembang tersebut bubar pada masa pendudukan jepang, kemudian KH Bisri Mustofa meneruskan pesantren tersebut di Jl. Leteh Rembang yang diberi nama pesantren Raudhatut Thaliban. KH Bisri Mustofa adalah seorang kiai yang mendididik para santrinya dengan penuh kasih sayang meskipun ia adalah seorang yang sangat sibuk, akan tetapi jarang sekali ia meningalkan waktu mengajar para santrinya.

Selain sebagai kiai yang mengasung pesatren KH. Bisri Mustofa adalah seorang politikus handal yang disegani semua kalangan. Sebelum NU keluar dari Masyumi KH. Bisri Mustofa adalah seorang aktifis Masyumi yang sangat gigih berjuang akan tetapi setelah NU menyatakan diri keluar dari Masyumi, ia pun keluar dari Masyumi dan berjuang di NU. Pada pemilu 1955 KH. Bisri Mustofa terpilih menjadi angota konstituante yang merupakan wakil dari partai NU setelah ada Dekrit presiden pada tahun 1959 yang membubarkan dewan konstituante dan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (MPRS), KH. Bisri Mustofa juga ditunjuk sebagai anggota MPRS dari unsur ulama. Kemudian pada pemilu 1971 iapun tetap konsisten berjuang di partai NU yang selanjutnya menghantarkan dirinya menjadi angota MPR dari daerah Jawa Tengah.

Sewaktu pemerintahan Orde Baru Menerapkan fusi atas partai-partai yang ada waktu itu, sehinga partai NU pun harus berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), KH. Bisri Mustofa pun akhirnya bergabung di PP dan memperjuangkan partai tersebut. Pada pemilu tahun 1977 ia pun masuk daftar calon legislatif (caleg) dari PPP dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Akan tetapi ketika masa kampanye kurang seminggu lagi tetapnya Hari Rabu tanggal 17 Februari 1977 ( 27 Shafar 1397 H) menjelang waktu Ashar KH Bisri Mustofa dipanggil kehariban Allah SWT untuk selama-lamanya.

KH Bisri Mustofa dikenal sebagai tokoh yang handal berpidato. Ia adalah seorang orator. Dalam setiap kampanyenya ia pasti jadi juru kampanye adalan partainya. Kemampuan panggung KH Bisri memang tak terbantah dan diakui oleh siapa pun. Benar apa yang digambarkan KH. Syaifuddin Zuhri bahwa KH. Bisri adalah orator, ahli pidato yang mengutarakan hal-hal sebenarnya sulit menjadi gamblang. Mudah diterima oleh orang desa maupun kota. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Kritikan-kritikan tajam meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyegarkan. Selain itu ia pun menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.

Pemikiran keagamaan KH. Bisri Mustofa oleh banyak kalangan dinilai bersifat moderat. Sifat moderat KH. Bisri Mustofa merupakan sikap yang diambil dengan pendekatkan ushul fiqh yang mengendapkan kemaslahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyrakatnya. Oleh karena itu, pemikirannya sangat kontektual.

KH. Bisri Mustofa adalah seorang ulama Sunni yang gigih menperjuangkan konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang sampai tiga kali revisi untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya konsep amar ma'ruf nahi munkar yang dimaknai dan di dasari oleh solidaritasa dan kepedulian sosial. Obsesinya untuk menegakan amar ma'ruf nahi munkar ini ditujukan dengan sejajar konsep tersebut dengan rukun-rukun islam yang ada lima. Ia sering mengatakan bahwa seandainya boleh maka rukun islam yang ada lima itu ditambah rukun yang keenam yaitu amar ma'ruf nahi munkar.

Pemikiran-pemikiran KH. Bisri Mustofa itu biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan yang disusunnya menjadi buku, kitab-kitab dan lain sebgainya. Banyak sekali hasil karyanya yang sekarang ini menjadi rujukan para ulama yang mengajar dipesantrwn dan pegangan bagi para santri. dari hasil penulis wawancara dengan KH. Chollil Bisri dijelaskan bahwa seluruh hasil karya KH. Bisri Mustofa yang telah dicetak kira-kira jumlahnya 176 buku/kitab.

Selain menjadi kiai yang alim, politikus yang handal, pengarang yang produktif. KH. Bisri Mustofa juga dikenal sebagai satrawan atau seniman. Hal ini dibuktikan dengan hasil karyannya yang berupa syair-syair atau puisi-puisi yang penuh dengan pesan-pesan moral bagi masyarakat. Ia juga pernah menulis drama tentang cinta kisah Nabi Yusuf dan Siti Zulaicha yang kemudian ia rekam sendiri dalam bentuk monolog.

Selain hal ekonomi dan perdagangan KH. Bisri Mustofa adalah sosok yang gigih kreatif dalam menagnkap peluang usaha atau bisnis. Ia memang didik menjadi keluarga pedagang yang secara langsung atau tidak langsung memberikan pelajaran baginya dalam hal pedagang atau keuletan dan kreatifitas hidupnya dapat dilihat dari perjalanan dari zaman Jepang sampai akhir masa hidupnya. KH. Bisri Mustofa juga pernah mendirikan Yayasan yang bergerak dibidang ekonomi dan perdagangan yaitu Yayasan Mu'awanah Lil Muslimin (YAMU'ALIM).

Pada tahun 197-an KH. Bisri Mustofa telah menikah untuk kedua kalinya dengan perempuan asal Jawa Tengah yang bernama Umi Atiyah. Dalam pernikahan dengan istri kedua KH. Bisri Mustofa dikarunai seorang anak laki-laki yang diberi nama Maemun. (A. Zaenal Huda)








KHA. Mustofa Bisri
BiografiKH. A. Mustofa Bisri
Pengasuh Fikih Keseharian



KH. A. Mustofa Bisri, kini Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin Leteh Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Belajar di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, dan Universitas Al-Azhar Kairo, disamping di pesantren ayahnya sendiri, Raudlatuth Tholibin Rembang.Disamping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair. Karya-karyanya yang telah diterbitkan, antara lain, Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa'aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993), Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Mahakiai Hasyim Asy'ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995),Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997). dan juga Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997).
Karya-karya lain yang insya Allah akan terbit, adalah Fikih Keseharian II (Al-Miftah Surabaya). Sementara itu, dia produktif menulis di media massa ibukota d

  1. Meski Kiai Haji Achmad Mustofa Bisri dikenal sangat mobil. Kesana-kemari tak kenal lelah, baik untuk ceramah, diskusi, rapat NU, silaturahmi atau baca puisi. Tapi di bulan Ramadhan, jangan harap bisa "mengeluarkan" Gus Mus (panggilan akrabnya) dari Pondok Pesantrennya di Rembang.
    Kenapa ? Sebab tradisinya adalah: selama bulan Puasa, Gus Mus pilih kumpul dengan keluarga dan para santrinya. Dia juga membiasakan membaca takbir dan shalawat 170 kali sehabis Maghrib dan Isya. “Ini memang sudah rutin” katanya. “Bila Ramadhan, saya khususkan untuk tidak keluar. Semua undangan ditolak !”
    Sangat boleh jadi, masa-masa bulan suci itu, juga digunakan Gus Mus untuk melakukan dua ‘hobi’ lainnya : menulis puisi dan melukis.
    Untuk kegemarannya menulis, memang ada yang mengatakan sebagai nyleneh. Padahal, menurutnya, “bersastra itu sudah menjadi tradisi para 'ulama sejak dulu !” “Sahabat-sahabat Nabi itu semua penyair, dan Nabi Muhammad SAW pun gemar mendengarkan mereka bersyair. Pernah Rasulullah kagum pada syair ciptaan Zuhair, sehingga beliau melepas pakaian dan menyerahkan kepadanya sebagai hadiah !”
    Jadi, kiai berpuisi itu tidak nyleneh ? “Sebenarnya bukan saya yang nyleneh, tapi mereka !” Mereka siapa ? Yang mengatakan dirinya nyleneh !
    Sebab, menurutnya, “sastra itu diajarkan di pesantren. Dan kiai-kiai itu, paling tidak tiap malam Jumat, membaca puisi. Burdah dan Barzanji itu kan puisi dan karya sastra yang agung ?!” “Al Qur’an sendiri merupakan mahakarya sastra yang paling agung !”
    Walhasil, meski KHA Mustofa Bisri adalah Rais Syuriah PBNU. Meski dia anggota Dewan Penasihat DPP PKB. Meski dia Pimpinan Pondok Pesantren Raudhatul Thalibien di Rembang. Tapi kegiatan menulis puisi memang sudah menjadi darah dagingnya

    “Bersastra itu kan kegiatan manusia paling tinggi, melibatkan rasio dan perasaan !” katanya.

    Nyatanya pula, Prof Dr Umar Kayam memahami sekali hal itu. “Dalam perjalanannya sebagai kiai, saya kira, ia (Gus Mus) menyerahkan diri secara total sembari berjalan sambil tafakur. Sedang dalam perjalanannya sebagai penyair, ia berjalan, mata dan hatinya menatap alam semesta dan puak manusia dengan ngungun, penuh pertanyaan dan ketakjuban” katanya.
    Hasilnya, antara lain kumpulan puisi bertajuk Tadarus. “Inilah perjalanan berpuisi yang unik !” lanjut Begawan Sastra Indonesia itu.
    Selain menulis puisi, Mustofa Bisri juga punya kegemaran melukis. Karyanya sudah puluhan atau mungkin ratusan. Tapi kurang jelas, apakah karyanya itu juga dikoleksi para pandemen lukisan, dengan membeli seperti mereka membeli karya lulusan ISI, misalnya.
    “Kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis” kata pula Jim Supangkat, kurator kenamaan itu. “Kesannya ritmik menuju dzikir, beda dengan kaligrafi !”
    Ada Kejadian menarik ketika diselenggarakan Muktamar I PKB di Surabaya. KHA Mustofa Bisri termasuk yang diunggulkan jadi Ketua Umum. Pendukungnya juga banyak. Bahkan konon Gus Dur pun men-support. Tapi, ternyata, Mustofa Bisri sendiri menolak. Atau mengundurkan diri !
    Gus Mus justru ... mengadakan pameran lukisan bersama dua temannya, yang mereka beri judul Tiga Pencari Teduh.
    Ternyata, dunia politik memang tidak cocok bagi Gus Mus. “Saya mendengar politik saja sudah gerah” katanya. “Apalagi masuk ke dalamnya !”
    Itulah salah satu motivasi dia menggelar pameran lukisan. Mencari keteduhan di tangan gemuruhnya politik !
    Begitu bapaknya, begitu pula ayahnya. Begitu kakeknya, begitu pula cucunya. Inilah yang terjadi pada Achmad Mustofa Bisri, atau Gus Mus. Kakeknya, H Zaenal Musthofa, dikenal sebagai penulis cukup produktif. Ayahnya, KH Bisri Musthofa, lebih produktif lagi. Juga lebih beragam kegiatannya. Baik di lingkungan politik, pemerintahan, maupun di bidang kebudayaan.
    Bisri Musthofa juga dikenal sebagai orator ulung! Dua putranya kemudian mengikuti jejaknya. KH Cholis Bisri ‘mewarisi’ bakat ayahnya dalam politik, dan kini menjadi Wakil Ketua MPR. Sementara adiknya, Achmad Mustofa Bisri, ‘mewarisi’ kepiawaiannya dalam menulis dan bersastra. Tapi keduanya tetap ‘jago’ dalam soal agama, seperti kakeknya maupun ayahnya. Mereka juga memimpin pondok pesantren.

    ACHMAD MUSTOFA BISRI dilahirkan di Rembang pada 10 Agustus 1944. Selain mendapat gemblengan dari keluarga sendiri yang memang keluarga muslim yang sangat taat. Gus Mus memperoleh gemblengan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang sohor itu. Kenangannya pada pesantren ini, antara lain terekam dalam puisinya berjudul Lirboyo, Kaifal Haal?
    “Lirboyo, masihkah penghuni-penghunimu percaya pada percikan/ sawab-sawab mbah Manaf, mbah Marzuqi, dan mbah Mahrus rachimakumullah? / ataukah seperti dimana-mana itu tidak mempunyai arti apa-apa / kecuali bagi dikenang sesekali dalam upacara haul yang gegap gempita”

    Satu Kamar dengan Gus Dur di Al Azhar, Kairo, Mesir
    Selain memperdalam ilmu di Lirboyo, Gus Mus juga suntuk di Pondok Pesantren Krapyak, Yogya. Puncaknya belajar di Universitas Al Azhar, Kairo.
    Di Al Azhar itulah, untuk pertama kali Gus Mus bertemu dan berkenalan dengan Gus Dur, yang kemudian menjadi Presiden keempat Republik Indonesia.
    Seperti pengakuannya sendiri, mereka kemudian tinggal di satu kamar. Gus Dur banyak membantu Gus Mus selama di perguruan tinggi tersebut. Bahkan sampai memperoleh beasiswa.
    Uniknya, atau ironisnya, Gus Dur sendiri kemudian tidak kerasan di Al Azhar. Dia DO. Lalu meneruskan studinya di Irak.
    PULANG ke tanah air awal 1970-an, Gus Mus langsung... dinikahkan dengan Siti Fatwa Gadis teman Gus Mus sendiri di masa kecil.
    Jadi, agaknya, selama Gus Mus studi di Al Azhar, kedua orangtua mereka mematangkan rembuk untuk menjodohkan putera-puteri mereka!
    “Banyak kenangan di antara kami” kata Gus Mus pula. “Semasa kecil saya kansering menggodanya!”

    Pasangan ini kemudian dianugerahi tujuh putra-putri. Sikap Gus Mus yang liberal didasari kasih sayang, agaknya sangat mengesankan putra-putrinya. Buktinya, Kautsar Uzmut, putri keduanya, memujanya. “Dia itu tipe Abah yang top!” katanya. “Saya sendiri memfigurkan pria seperti Abah yang nanti menjadi suami atau pendamping saya. Tapi terus terang, sangat sulit!”
    Merasa tidak cocok dengan dunia politik, Gus Mus yang menguasai bahasa Arab, Inggeris dan Prancis memang kemudian lebih banyak berkiprah sebagai ‘kutu buku’ dan ‘penulis buku’. Tentu, di samping jabatan ‘resmi’ sebagai Rais Syuriah PB NU, Anggota Dewan Penasihat DPP PKB, dan tentusaja Pimpinan Pondok Pesantren di Rembang.

    Meski Gus Mus pernah jadi Anggota MPR mewakili PPP, tapi ‘kiprah politiknya’ sama sekali tidak menonjol. Sebab yang mencuat justru karya sastranya.
    Di antara karyanya adalah: Ensiklopedi Ijmak, Proses Kebahagiaan, Pokok Pokok Agama, Kimaya Sa’adah, Nyamuk yang Perkasa dan Awas, Manusia. Serta kumpulan puisi OHOI, Tadarus, Pahlawan dan Tikus, Rubayat Angin dan Rumput, dan lainnya.

    Selamat bertadarus puisi, Pak Kiai-penyair! (Minggu Pagi Online)

    Profil Pribadi
    Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), kini pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang. Mantan Rais PBNU ini dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Nyantri di berbagai pesantren seperti Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Marzuqi dan KH Mahrus Ali; Al Munawwar Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH Ali Ma'shum dan KH Abdul Qadir; dan Universitas Al Azhar Cairo di samping di pesantren milik ayahnya sendiri, KH Bisri Mustofa, Raudlatuth Thalibin Rembang.
    Menikah dengan St. Fatma, dikaruniai 6 (enam) orang anak perempuan : Ienas Tsuroiya, Kutsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiatul Bisriyah, Nada dan Almas serta seorang anak laki-laki: Muhammad Bisri Mustofa. Kini beliau telah memiliki 5 (lima) orang menantu: ........, Reza Shafi Habibi, Ahmad Sampton, Wahyu Salvana, dan Fadel Irawan serta 7 (tujuh) orang cucu: Ektada Bennabi Muhammad; Ektada Bilhadi Muhammad; Muhammad Ravi Hamadah, Muhammad Raqie Haidarah Habibi; Muhammad Najie Ukasyah, Ahmad Naqie Usamah; dan Samih Wahyu Maulana.
    Selain sebagai ulama dan Rais Syuriah PBNU, Gus Mus juga dikenal sebagai budayawan dan penulis produktif.























Biografi Gus Dur…Bapak Demokrasi-Pluralisme
DESEMBER 30, 2009
oleh nusantaraku

Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004).
Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.
Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002.Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)
Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.
Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus  mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah  organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran.  Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)
Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Karir Organisasi NU

Pada awal  1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto.  Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.
Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.

Menjadi Presiden RI ke-4

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Gus Dur

Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4

Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi  referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.  Pendekatan yang lebih lembut terhadap Acehdilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.  Netralisasi  Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland
Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia.  Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara.  Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.
Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.
Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki “Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.

Hal-Hal Positif dari Gus Dur

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not.  The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid- (source)
Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.
  • Pertama :  Akan selalu berpihak pada yang lemah.
  • Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
  • Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.
Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.
Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.

Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi  dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :
  • Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
  • Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
  • Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
  • Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan lain :
  • Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
  • Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
  • Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
  • Pejuang Kebebasan Pers
Selamat Jalan Gus Dur
Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur
Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang ‘agung’.
Salam hormat dan turut berbela sungkawa,
ech-wan, 30 Desember 2009
Referensi utama : wikipedia —- gusdur.net —-kompas — 3 Prinsip Hidup Gus Dur-





Abdurrahman “Addakhil”, itulah nama lengkapnya. Secara leksikal, Addakhil berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil KH Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.
Belakangan kata Addakhil tak cukup dikenal dan diganti nama Wahid, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai yang berarti “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Gus Dur adalah keturunan ‘darah biru’. Ayahnya, KH Wahid Hasyim adalah putra KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Hj Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH Bisri Syansuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah KH Abdul Wahab Hasbullah.
Pada 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Tamu-tamu, terdiri para tokoh yang sebelumnya biasa dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Gus Dur. Ia mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari para kolega ayahnya.
Sejak kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU.
Pada April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi-Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur punya kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku serius. Karya-karya yang dibaca tidak hanya cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara.
Ia juga senang bermain bola, catur, dan musik. Kegemaran lain adalah nonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Jogjakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat ini pengembangan ilmu pengetahuannya mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studi di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak H Muh Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Musik Klasik
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, KH Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakek, ia diajari mengaji dan membaca Al Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca Al Qur’an.
Pada saat ayahnya pindah Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam dan mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda, Buhl selalu menyajikan dengan musik klasik. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang lulus SD, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-Jakarta. Karenanya wajar jika pada masa kemudian banyak tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus SD, Gus Dur dikirim orang tuanya belajar di Jogjakarta. Pada 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di Pesantren Krapyak. Sekolah ini meski dikelola Gereja Katolik Roma, tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
Gus Dur lalu minta pindah ke kota dan tinggal di rumah H Junaidi, pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah salat subuh, mengaji pada KH Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan malamnya ikut berdiskusi bersama H Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa SMEP, Gus Dur didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku berbahasa Inggris. Di antara buku-buku yang dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Ia juga membaca beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’.
Gus Dur juga aktif mendengarkan siaran radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai berbahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis- memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya.
Setamat SMEP, Gus Dur melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang. Pesantren ini diasuh KH Chudhari, kiai yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi. Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mengadakan ziarah ke makam-makam para wali di Jawa.
Menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur lalu kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, KH Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, kemudian ke Mesir melanjutkan studi di Universitas Al Azhar.
Pada 1966 Gus Dur pindah ke Irak. Ia masuk Departement of Religion di Universitas Bagdad sampai 1970.
Di luar kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi, pendiri aliran tasawuf yang diikuti jemaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Dari Baghdad, Gus Dur ingin melanjutkan studi ke Eropa. Tetapi karena persyaratan ketat, utamanya dalam bahasa, –misalnya untuk masuk kajian klasik di Kohln harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin di samping bahasa Jerman–, tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah menjadi pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lainnya.
Pada akhirnya Gus Dur menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pengembaraan mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang, memilih menjadi guru. Pada 1971 ia bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun sama Gus Dur mulai menekuni sebagaii kolumnis.
Pada 1974 Gus Dur diminta pamannya, KH Yusuf Hasyim membantu di Pesantren Tebu Ireng dengan menjadi sekretaris. Gus Dur mulai sering mendapat undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori LP3ES.
Pada 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat diskusi dan perdebatan serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin ilmu.
Karier yang dianggap ‘menyimpang’ -dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1986, 1987.
Pada 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai KH As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 NU di Situbondo. Jabatan itu kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Jogjakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).
Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden ke-4 RI. Meskipun sudah menjadi presiden, kenylenehan Gus Dur tak hilang.
Catatan karier Gus Dur yang patut juga dicatat adalah saat menjadi ketua Forum Demokrasi (1991-1999), dengan sejumlah anggota terdiri berbagai kalangan, khususnya nasionalis dan non muslim.
Dari perjalanannya tersebut memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. wikipedia/berbagai sumber
Jejak Penghargaan Gus Dur:
Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.an media massa daerah.